Editorial bersama Farid Gaban

Muhammad Lutfi
9 min readOct 9, 2023

--

Agaknya akan panjang aku menulis cerita pertemuan dengan wartawan senior dan founder Yayasan Zamrud Khatulistiwa, Farid Gaban.

Lutfi dan Farid Gaban di Maringopi

Waktu itu, Farid bersama Tim Ekspedisi Indonesia Baru yang melakukan perjalanan keliling Indonesia, mampir di salah satu tempat ngopi di Semarang, Maringopi namanya. Jujukan mereka di Maringopi bukan sekedar istirahat, namun diselipkan acara diskusi dan nonton bareng serial ‘Dragon for Sale.’

Maringopi bukan warung biasa. Ia disulap menjadi ruang alternatif untuk sekedar bertemu, ngobrol, atau melepas penat dari bising kota yang kian polutif dan bebal. Di situ pula, komunitas-organisasi-aliansi apapun di Semarang bisa melancarkan konsolidasi misinya untuk gerakan akar rumput — underground, mungkin juga.

Lantaran, tinggal berapa kilometer dan hari lagi, mereka bakal menyelesaikan rihlah keliling Indonesia selama satu tahun lebih. Tanpa sponsor, bantuan dana, atau dukungan dari Pemerintah. Mereka keliling atas dasar mengabarkan sudut-sudut Indonesia yang jarang diliput oleh media arus utama dan menjadi monitor of power (watchdog) kebijakan Pemerintah yang kian inconsiderate.

Saya berangkat dari Ngaliyan bersama teman kontrakan, alias kawan-kawan LPM Justisia. Satu jam sebelum acara kami sudah sampai, karena hanya ingin mencuri waktu ngobrol bersama Dandhy Laksono dan Farid Gaban.

Waktu itu Maringopi masih sepi, beberapa orang yang sudah datang duduk di emperan warung beralaskan tikar sambil menikmati minuman dan kudapan olahan Maringopi. Kulihat tuan Maringopi, Munif dan Dera, sedang sibuk menyiapkan acara. Sesekali harus kembali ke meja kasir untuk melayani pembeli yang akan ikut kegiatan diskusi dan nonton bareng.

Dandhy duduk di depan, dengan kaki selonjoran. Di sampingnya terdapat gelas berukuran sedang berisikan soda, sedang di sela-sela jarinya terselip rokok Dji Sam Soe Super Premium.

Berbeda dengan Farid Gaban. Ia duduk di bangku belakang yang di sekelilingnya terdapat lemari dan rak buku. Tidak jauh dengan Dandhy, di sela-sela jari kirinya terselip rokok Gudang Garam International, tangan kanannya membolak-balik halaman buku.

Sesekali Farid menutup buku karena memeriksa notifikasi ponselnya. Sesekali juga ia meminum kopi susu yang sedari tadi dianggurkan karena sibuk dengan bacaan bukunya.

Saya memberanikan untuk datang dan mengobrol dengannya.

The Place of Whistleblowers in The News

“Pak Farid,” sapaku singkat. Dengan segera ia menutup bukunya, memalingkan pandangannya ke daku. Saya kemudian menyodorkan tangan untuk bersalaman dengannya.

“Oiya, halo,” balasnya sembari menanyakan nama kepadaku.

Ada rasa sungkan untuk mengajak ngobrol bersama Farid. Alasannya jelas, karena ia pasti lelah usai keliling Indonesia dengan motor Supra. Sekalipun bisa istirahat, ia masih disibukkan dengan pekerjaan lain, misal membantu editing video, riset data untuk kebutuhan konten video, project dengan komunitas lain, atau memikirkan kebutuhan ‘pendanaan.’

“Ya pasti capek. Kalau keliling Indonesia cuma sekedar keliling tentu semua orang bisa. Tapi ini kan nggak, masih bareng dengan urus yang lain juga,” terangnya sambil melemparkan senyum.

Saya, saat itu bersama Pimpinan Redaksi Justisia.com, mencoba meminta pendapat kepada Farid soal liputan investigasi dugaan ‘Plagiasi Rektor UIN Walisongo.’

Kami menanyakan soal penggunaan sumber anonim dalam liputan investigasi. Sebenarnya, kami sudah tahu bagaimana syarat dan cara mencantumkan sumber anonim dalam berita— hasil pembelajaran bacaan buku ‘Agama Saya adalah Jurnalisme’ ciptaan Andreas Harsono.

Kami hanya ingin sekedar memastikan. Dan barangkali punya argumen penguat dan sudut pandang lain dari Farid Gaban.

“Yang jelas, Anda harus percaya dengan kredibilitas sumber anonim. Kalau terbukti berbohong, Redaksi harus bertanggungjawab,” jelasnya tegas.

Farid juga menjelaskan, bahwa dalam peliputan investigasi yang berusaha mengungkap fakta di balik peristiwa, bukti adalah nyawa.

“Bukti apapun. Bisa itu dokumen, foto, atau arsip digital yang harus Anda telusuri,” tutur Farid menjelaskan. “Dalam peliputan investigasi dugaan Plagiasi Rektor, bukti kesamaan karyanya dengan karya lain harus ditampilkan. Itu yang penting.”

Liputan Plagiasi Rektor UIN Walisongo oleh LPM Justisia

Bagi Farid, bukti lain yang tidak begitu penting — atau jika kita memahami sesuai struktur Piramida Terbalik milik straight news — bisa dimasukkan hanya sekedar narasi pendukung.

“Namun yang perlu diperhatikan, penggunaan sumber anonim ini dilakukan jika semua narasumber utama susah untuk ditembus dan kita sudah berusaha menghubungi,” ucapnya.

Pada akhirnya, kami mengobrol panjang lebar soal jurnalistik. Termasuk bagaimana siasat menguatkan mental pasca meliput dan menerbitkan berita sensitif.

Diancam Dekanat, “Kami lepas tanggung jawab.”

Adagium ‘harga tulisan tidak sebanding dengan harga nyawa’ adalah kalimat sakral yang (mungkin) selalu diingat oleh siapapun. Menulis bukan sekedar meriset, mewawancara, mentranskrip, menyusun, lalu mempublikasikan, namun lebih dari itu. Termasuk memikirkan bagaimana keamanan dan recovery from attacks yang seharusnya juga dipertimbangkan sejak awal.

Kami sudah memikirkan apa ancaman terbesar ketika kami benar mempublikasikan liputan investigasi dugaan Plagiasi Rektor UIN Walisongo. Ketakutan terbesar teman-teman adalah; dipolisikan, terpaksa lulus cepat alias drop out (DO), atau dipersulit dalam urusan akademik. Atau secara lembaga, LPM Justisia bakal diberedel; dicabut SK-nya dan tidak lagi mendapat subsidi bantuan dana DIPA dan dana penerbitan.

Karena itu, ada cerita di balik peliputan Plagiasi Rektor. Jadi gini …

Sekitar awal Agustus 2023, muncul berita-berita di beragam portal media online tentang klarifikasi Arif Royyani yang membantah dirinya bukan bagian dari tim penelitian Rektor UIN Walisongo, Imam Taufiq.

Pada saat itu juga, redaksi Justisia dihubungi oleh beberapa orang untuk menginvestigasi kejadian tersebut. Lantas, redaksi Justisia mencari data-data terkait, menyusun outline liputan, termasuk list narasumber sebagai coretan awal liputan.

Artinya, Justisia tidak pernah mendapat atau menerima peliputan isu ‘titipan’ hanya untuk sekedar mencari eksistensi, menjatuhkan martabat seseorang atau lembaga, atau alih-alih menjadi media propaganda — canalize of a counter-narrative — dari satu pihak untuk menyerang pihak lain.

Ketika redaksi Justisia mulai bergerak berkontak dengan narasumber-narasumber terkait, Dekanat dengan cepat juga bergerak membendung gerak-gerik redaksi Justisia tersebut. Hanya selisih dua hari.

12 Agustus 2023 adalah hari pertama Justisia mulai mewawancarai narasumber-narasumber utama. ‘Derap berkontak’ tersebut ternyata sudah diendus oleh Dekanat, hingga pada akhirnya 15 Agustus 2023, saya sebagai Pemimpin Umum LPM Justisia, dipanggil oleh Wakil Dekan 3 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo.

Awalnya, WD 3 menghubungi dengan menanyakan progres Majalah. Saat itu, majalah yang bulan September kemarin terbit, adalah soal Pantura Tenggelam. Jadi, kukira bakal aman karena sama sekali tidak menyinggung soal kampus. Namun, yang menjadi kecurigaan adalah ketika ia meminta bertemu dengan maksud mengobrolkan substansi tulisan yang hendak diangkat.

Saya kemudian ngobrol dengan kawan-kawan. Muncul satu kesimpulan, bahwa mungkin bukan sekedar pertanyaan normatif soal majalah, namun ada sesuatu di balik panggilan tersebut. Selain alasan tiba-tiba, diksi ‘sesuatu’ tersebut adalah tanda Dekanat untuk menghentikan proses peliputan Plagiasi Rektor oleh LPM Justisia.

Bukti chat dari WD 3

15 Agustus 2023 adalah hari di mana saya bertemu dengan WD 3 di ruangannya. Awalnya pembicaraan berjalan dengan kondusif karena menyangkut liputan redaksi Justisia yang bakal diterbitkan dalam bentuk majalah.

Menyoal tema besar Pantura Tenggelam, WD 3 tersebut mengapresiasi karena hal itu bersinggungan dengan masyarakat luas beserta dampaknya. Termasuk letak UIN Walisongo yang bersebelahan dengan pantai Utara Jawa Tengah.

Pembicaraan berlanjut menyinggung liputan Plagiasi Rektor yang sebenarnya belum juga terbit. Proses peliputannya saat itu baru saja berkontak dengan satu narasumber, belum secara utuh. Pada intinya, Dekanat tidak mau Justisia meliput masalah yang ditimpa oleh Rektor UIN Walisongo.

Tentu alasan klasik; jangan membuka aib institusi ke hadapan publik. Bagi Dekanat, jika Justisia beneran mempublish liputan tersebut, sama artinya dengan tidak mematuhi kode etik institusi. Atau ucap WD 3 kepada saya, “Bayangkan, orang tuamu sedang ada masalah. Terus kamu malah menceritakan ke orang lain, tetanggamu.”

Pembelaan Dekanat tersebut masih terngiang dalam ingatan saya. Sampai sekarang. Termasuk ia memvonis saya telah ‘keluar’ dari etika santri. “Kalau kamu nggak bisa dibilangin, berarti kamu telah melepas jubah santrimu,” tuturnya ketus. Nadanya meninggi.

Saya terus bersikeras untuk tetap mempublikasikan liputan tersebut. Karena bagiku, yang pertama kena serangan adalah Pemimpin Umum dan Pimpinan Redaksi. Percakapanku dengan Pimred sudah selesai dan clear. Dengan kata lain, kami sudah sepakat dan akan bertanggungjawab dengan segala risiko yang bakal diterima.

WD 3 tetap bersikukuh menolak keras. Mendepak segala alasan kuat agar liputan tidak naik terbit.

“Kalau masih ngeyel, mending bilang ke Dekan dulu. Jawabannya pasti akan sama. Kalau ada apa-apa, detik itu pun Dekanat bakal angkat tangan,” tuturnya dengan nada rendah menghunus. Igit-igit, kalau dalam bahasa Jawa.

Tidak berselang lama, Dekan kemudian ikut dalam pembicaraan di ruang WD 3. Benar dengan yang kuduga, jawabannya juga normatif. Menghimbau kepada saya untuk mempertimbangkan kembali liputan tersebut. Bukan hanya karena sensitif, namun saat itu masih dalam rentang waktu transisi Rektor baru. Bagi Dekan, hal tersebut rentan dengan tunggangan kepentingan politis salah satu calon Rektor.

Aku berpikir keras. Sedikit setuju ‘mengiyakan’ apa yang dikatan oleh Dekan, selebihnya mempertanyakan dan malah membuatku semakin setuju untuk menerbitkan.

Justru jika tidak diinvestigasi, proses pergantian Rektor malah memasuki masa delay — mungkin juga sudah kadaluarsa(?). Dan dugaan tersebut benar adanya. Sampai sekarang, karena masalah plagiasi Rektor tersebut belum menemukan titik terang, masa jabatan Rektor Petahana jadi diperpanjang.

Keluar dari ruangan Dekanat, saya menguatkan diri. Satu hal yang selalu kupegang, ‘jika liputan Justisia sesuai kaidah dan kode etik jurnalistik, segala sesuatu bisa dipertanggungjawabkan.’

Pada akhirnya, Justisia kemudian menerbitkan secara berkala liputan investigasi dugaan Plagiasi Rektor UIN Walisongo. Semuanya bisa ditelusuri melalui website Justisia.com dengan kata kunci ‘plagiasi.’ Dan sampai sekarang, serangan balik apapun dari pihak manapun belum pernah menyentuh Redaksi Justisia.

Jurnalistik adalah Cara Kerja Klandestin

Dua jam kami mengobrol dengan Farid. Bagiku, menonton film serial ‘Dragon for Sale’ bisa lain waktu, daripada harus kehilangan momen berbincang dengan wartawan yang sudah dua kali keliling Indonesia menggunakan sepeda motor.

Sebulan berlalu dari kegiatan diskusi dan nobar di Maringopi, Justisia menggelar Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar (PJTD) selama seminggu dari 18–24 September 2023. Tiga hari diklat materi, empat hari dengan satu hari praktik liputan isu kampus dan tiga hari praktik liputan isu Semarang.

Di hari kedua, materi PJTD adalah artikel, features, indepth reporting — yang seharusnya bukan materi PJTD, namun tingkat lanjut (PJTL) — dan videografi. Dengan amat bahagia bisa mengundang kembali Farid Gaban untuk mengisi materi indepth reporting.

Proses permohonan pemateri juga singkat. Justisia menghubungi Farid, mengobrol latar belakang masuknya materi tersebut dengan menggambarkan kondisi UIN Walisongo, tektok hari dan jam termasuk fee transportasi dan honorarium, lalu Farid mengiyakan.

“Nanti saya kirimkan materi soal indepth reporting. Ingatkan saja nanti dua hari sebelum acara ya,” jawabnya melalui pesan WhatsApp.

Hari di mana Farid mengisi materi indepth reporting. Ia secara praktik mengajari teknik peliputan dengan mencontohkan kasus nasional yang sedang hangat, yaitu konflik Rempang. Pelatihan saat itu terasa hidup, bukan karena pematerinya yang energik, karena peserta dari Kru Magang 2023 yang ternyata juga update mengikuti cerita konflik tersebut. Tidak hanya Rempang, termasuk panas bumi Wonosobo, konflik Wadas, banjir rob Pantura, dan sebagainya.

Kiri: Foto bersama Farid Gaban. Kanan: Foto penyerahan sertifikat pemateri

Pasca dari PJTD, Farid oleh Justisia diajak makan di food court UIN Walisongo. Di sana, lagi-lagi kami cukup banyak mengobrol soal Jurnalistik.

“Sebenarnya menjadi jurnalis semacam saya yang keliling Indonesia itu cukup satu syaratnya, mau dan tahan di segala kondisi apapun,” ucapnya.

Ia menceritakan, selama keliling Indonesia meliput ihwal masyarakat, seringkali tidur dan beristirahat di manapun. Emperan toko, masjid, pom bensin, atau tidak menutup kemungkinan juga di jalanan dengan beralaskan matras.

“Karena semacam itu justru saya merasakan nikmatnya hidup. Coba apa nikmat terbesar dalam hidup, ya kesehatan,” lanjutnya meyakinkan.

Nikmat utama dalam hidup tersebut yang membawa Farid bisa keliling Indonesia tanpa muncul ada rasa takut di kemudian hari, atau di sepanjang perjalanan.

“Alhamdulillah sampai sekarang, saya nggak punya penyakit. Paling kalau ada sesuatu di perjalanan kayak hujan lebat gitu, saya banyak mengucapkan sholawat badar,” ucapnya disambut tawa.

Meski kedua kalinya keliling Indonesia, Farid Gaban tetap merasa payah selama masa perjalanan. Namun, ia dimudahkan karena sedikit banyak masih ingat detail jalan di sepanjang pulau-provinsi-kabupaten-kota di Indonesia berkat pengalaman kelilingnya pada tahun 2010 bersama Ahmad Yunus.

Farid kemudian banyak menceritakan bagaimana kisah perjalanannya keliling Indonesia bersama Dandhy dan dua pemuda lain. Selama itu ia bercerita, tidak terasa ternyata waktu menunjukkan petang. Matahari yang tadinya di atas genteng food court, telah sejajar dengan penglihatan kami.

Farid Gaban izin meninggalkan Semarang. Tidak lupa kami menyempatkan foto bersama. Juga memberikan bingkisan mug dan kaos bertuliskan Justisia, serta terbitan majalah dan jurnal.

--

--

Muhammad Lutfi
Muhammad Lutfi

No responses yet